Etika makan orang Eropa yang masih terjejaki hingga kini adalah prasmanan. Cara penyajian makanan ala Prancis ini mulai tren di Hindia Belanda pada 1896, saat seorang penulis resep masakan bernama Njonja Johanna menulis buku Boekoe Masakan Baroe yang memuat resep pembuatan berbagai kue dengan “tjara Blanda, Tjina, Djawa dan Prasman.” Kata “prasman” mengacu pada cara makan orang “fransman”, sebutan orang Belanda kepada orang Prancis, yang sering menyajikan makanan dengan ditaruh di atas meja.
“Orang-orang Prancis sendiri menyebut cara ini dengan nama buffet,” tulis Suryatini N. Ganie dalam Upaboga di Indonesia.
Istilah buffet sendiri diartikan sebagai meja besar yang ditaruh dekat pintu masuk restoran-restoran. Di atas meja, hidangan disusun para pelayan dengan maksud agar para tamu mendatangi meja tersebut dan memilih sendiri makanan yang diminatinya.
Cara “fransman” ini kemudian diikuti orang-orang Belanda. Menurut Fadly Rahman dalam Jejak Rasa Nusantara, cara ini juga diadopsi orang-orang bumiputra dan cukup diminati hingga kini. Karena kaum bumiputra sulit melafalkannya, cara ini pun disebut “makan prasman” lantas menjadi “makan prasmanan”.

Pengadopsian prasmanan oleh kaum bumiputra, terutama kaum ningratnya, “menghancurkan” secara perlahan tradisi makan cara lama. Sebelumnya tradisi makan dalam suatu perhelatan diberlakukan dengan konsep selamatan: para tamu dibawakan berbagai sajian untuk disantap bersama dalam masing-masing piring atau wadah lain.
Uniknya, di luar Jawa, prasmanan masih dimaknai bukan bagian dari tradisi makan lokal. Di Palembang misalnya. Menurut pengalaman Gustaaf Kusno, seorang penulis asal-usul dari Palembang, sebagian orang Pelembang masih menyebut prasmanan sebagai ’makan prancis’.
“Bahkan di undangan pernikahan orang Palembang masih sering tertulis ’Resepsi ala Prancis’,” tulis Gustaaf dalam kolomnya di Kompasiana.
Mengapa pencantuman “resepsi ala Prancis” itu dilakukan? Menurut Gustaaf, itu karena di Palembang ada tradisi makan lain yang dinamakan ’chia tuk’ (layanan per meja). Dalam tradisi khas Tiongkok ini, undangan dipersilakan duduk melingkari meja bundar dan hidangan akan dihantarkan pelayan secara berurutan.
“Dengan mencantumkan apakah pada resepsi tamu akan ’makan prancis’ atau ’makan chia tuk’, maka para undangan diberi ’sandi’ seberapa besarnya angpao yang akan diberikan. Diharapkan angpao yang lebih besar untuk makan ‘chia tuk’ ini,” tulis Gustaaf, yang sudah menebitkan buku bunga rampai bahasa berjudul Gara-gara Alat Vital dan Kancing Gigi.
Beragam pengaruh bangsa-bangsa lain memperkaya khazanah seni kuliner Nusantara. Apapun makanannya, disajikan di atas daun atau piring, orang bisa makan sendirian atau bersama-sama, pakai tangan atau sendok dan garpu, dengan cara prasmanan atau selamatan.